Pages

Tuesday, October 9, 2018

HEADLINE: Horor Likuifaksi di Palu Berpotensi Terulang, Apa Solusinya?

Bencana rangkap tiga melanda Palu dan sekitarnya pada 28 September 2018: gempa, tsunami, dan likuifaksi.

Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan, hal itu tergolong unik.  "Kejadian ini juga belum pernah ada dalam sejarah kegempaan, meskipun dalam gempa paling diikuti likuifaksi iya, gempa diikuti tsunami iya dan itu enggak semua. Nah ini semua terjadi di Palu, gempa, tsunami dan likuifaksi," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (9/10/2018). 

Sejatinya bukan kali ini saja likuifaksi melanda Palu. Rahmat mengatakan, terdapat riwayat likuifaksi di ibu kota Sulawesi tengah itu. Namun, kisah tentang malapetaka itu tak diwariskan hingga generasi saat ini. 

Di wilayah tersebut, dikenal istilah nalodo yang berarti amblas dihisap lumpur. "Itu sudah pernah terjadi beberapa puluhan tahun lalu, itu sudah ada," kata dia.

Dia mengatakan, ke depan perlu ada survei mengenai titik mana saja yang rawan likuifaksi. Tim dari geologi atau BMKG harus turun memetakan tata kota Palu ke depan, mana yang aman dan mana yang bahaya.

Rahmat menyebutkan, tanah bekas likuifaksi sebaiknya tidak digunakan lagi. Sebab, sejarah bisa kembali berulang di masa depan. Jika gempa kembali mengguncang.

Senada, Peneliti Puslit Geoteknologi LIPI Adrin Tohari menambahkan, lebih baik masyarakat yang menempati kawasan bekas likuifaksi direlokasi. Selain mahal, perbaikan untuk memadatkan tanah justru berpotensi bahaya.

"Karena likuifaksi juga akan terjadi terus menerus. Kalau terjadi bencana yang sangat kuat, tanah itu akan terus mengalami likuifaksi di lokasi yang sama," kata dia kepada Liputan6.com.

Adrin mengatakan, tidak masalah bila lahan bekas likuifaksi dijadikan tempat budi daya seperti pertanian dan perkebunan, atau untuk olahraga. Asal, jangan untuk kawasan hunian.

Pemetaan di Palu juga harus diperjelas, mana yang rawan terkena dampak tsunami, guncangan gempa, dan likuifaksi. 

Mengapa Hanya di Beberapa Titik?

Adrin Tohari mengatakan, ada pertanyaan besar yang belum terjawab, mengapa likuifaksi hanya terjadi di beberapa titik saja seperti Balaroa, Petobo, hingga Jono Oge. 

Kemungkinan besar, kata dia, ada faktor di bawah permukaan tanah yang mengontrol fenomena likuifaksi di daerah tersebut.

"Ini yang jadi pertanyaan kami untuk ketahui. Faktor apa yang kontrol likuifaksi dahsyat di lokasi itu," kata Adrin.

Dia mengatakan, wilayah yang mengalami likuifaksi harus dihindari, terutama untuk hunian. Namun, likuifaksi yang berupa semburan pasir masih bisa diatasi, dengan bangunan yang ditinggikan.

"Ketika likuifaksi, air ke atas akan merusak lantai rumah, dan penurunan pondasi. Jadi pondasi harus kuat untuk tempat tinggal. Lantai harus dinaikkan. Kalau misalnya bangunan bertingkat, pondasi harus dalam dan lapisan tanah keras," kata dia.

Dia mengatakan, untuk wilayah lingkup perumahan, harus diperbaiki kepadatan tanahnya karena likuifaksi terjadi di tanah gembur. Tanah padat, ketika menerima guncangan gempa, tidak akan menimbulkan likuifaksi.

Metode pemadatan tanah juga harys digunakan untuk proyek pembangunan infrastuktur penting seperti di bandara, pelabuhan, yang dekat dengan laut.

Masyarakat terutama di daerah pesisir, ketika membangun rumah, diimbau agar lantai dibuatseperti semi panggung. Hal ini berkaca dari gempa Padang 2009. Kala itu, banyak bangunan yang rusak dan lantainya naik setengah meter sementara pondasi turun setengah meter, namun bangunan masih utuh berdiri.

Sementara itu, Ahli Geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Imam Sadisun mengatakan, llikuifaksi terjadi di tanah yang jenuh air, di endapan lepas, di mana konsolidasi tanah tak terlalu padat, hingga muka air tanah yang tidak terlalu dalam.

Likuifaksi bisa dipicu gempa kekuatan magnitudo di atas 5 dan yang kedalamannya dangkal.

Imam menyatakan, likuifaksi di Palu dan sekitarnya sangat dahsyat. Berbeda dengan wilayah lain yang tidak mengakibatkan kerusakan masif.

"Di Lombok ada retakan keluar pasir dan keluar air seperti muncrat membawa material pasir dan sumur penduduk keluar pasir," kata Iman. Selain Palu dan Lombok, likuifaksi juga terjadi saat gempa di Aceh pada 2004, Yogyakarta dan Bengkulu."

Imam mengatakan, likuifaksi terjadi pada kedalaman kurang dari 20 meter, artinya tanah yang sifatnya menjadi air dalamnya tidak lebih dari 20 meter. Jadi, jika ada bangunan dengan pondasi sedalam 50 hingga 100 meter, baru dipastikan aman dari bahaya.

Let's block ads! (Why?)


October 10, 2018 at 12:31AM
via Berita Hari Ini, Kabar Harian Terbaru Terkini Indonesia - Liputan6.com https://ift.tt/2OMiiGA
RSS Feed

If New feed item from http://ftr.fivefilters.org/makefulltextfeed.php?url=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Frss&max=3, then Send me an email


Unsubscribe from these notifications or sign in to manage your Email Applets.

IFTTT

No comments:

Post a Comment